Kakek Kesekian

 Kakek Kesekian

RUUD SKOLJAER tidak peduli pada saudara dan rekan-rekan peneliti di Perpustakaan Leiden yang menyarankannya untuk mengunjungi Banda Neira atau Seram atau Natuna, pulau-pulau yang disinyalir menjadi tempat persinggahan Kakek Kesekian: Van der Solkjaer. Apalagi keluarganya, ke mana selama ini, gerutunya. Kenapa sekarang sibuk mengatur hidupku!

Nama Kakek Kesekian tak pernah dicatat dalam sejarah. Sebagai polimatik alias ahli dalam berbagai ilmu dan kecakapan, Van sering ditugaskan sebagai agen rahasia Vereenigde Oost-Indische Compagnie. Dalam suratnya, Van menulis: Karimata adalah mutiara yang susah dijangkau. Seratus delapan kepulauan yang membentuk gugusan di antara Belitung, Sumatera, dan Borneo menjadikannya perawan yang dijaga raksasa. Tersuruk, gelap, sekaligus tak henti menguar pesona.

Surat yang diwariskan ke keturunan-keturunannya itu menjelma menjadi pusaka yang sesekali ditunjukkan kepada tamu-tamu yang memiliki ketertarikan pada sejarah keluarga mereka. Tentu surat itu pernah dibaca pihak keluarga. Sayangnya, yang membaca adalah orang-orang yang salah. Keturunan Solkjaer sebelum Ruud tak satu pun yang memilih mengembara atau riset atau sejarah sebagai jalan hidup.

“Aku tak yakin Karimata akan berubah hingga seratus tahun kemudian,” tulis Van di pertengahan suratnya. “Pribumi tampaknya tak lagi tertarik menaklukkan laut. Hasil laut sekitar yang melimpah membuat mereka malas bepergian. Apalagi orang-orang Bugis pun sudah nyaman di Serutu, pulau yang terletak 30 mil dari Karimata Tua,” tegasnya. “Meskipun begitu, harus kuakui kalau pribumi Karimata adalah penyelam andal. Entah seratus tahun nanti.”

Sebagai pejalan yang menyukai tantangan, surat itu tentu saja membakar Ruud. Hasratnya ke Karimata meledak-ledak. Tak mungkin Kakek Kesekian menulis sembarangan, pikirnya. Karena itu pula, niat menikahi seorang gadis asal Gottingen ia tunda entah sampai kapan. Ia selalu gagal menaklukkan keinginan bertualang. Mumpung usia masih 38, ia menghibur diri.

Maka, perkenalanmya dengan Blijung, pemuda kelahiran Karimata di sebuah fanpage pejalan internasional ia sebut sebagai bukti kalau semesta merestui. Padahal keberadaan Blijung di sana karena pemuda berusia 25 tahun itu menjadikan foto dan video unggahan anggota grup tersebut sebagai akses pengetahuan gratis sekaligus menyenangkan.

“Apakah ada pesawat ke sana?” tanyanya via direct message ketika Blijung mengunggah foto dirinya berlatar Pulau Buan di Sungai Abun. “Bulan depan saya akan ke sana,” katanya begitu mengetahui akses ke Karimata via Belitung maupun Pontianak adalah dengan menumpang kapal nelayan. Alangkah menantang dan eksotisnya, teriaknya dalam hati. Ramalan Van der Skoljaer terbukti! Meskipun listrik dan layanan Internet terbatas yang sudah masuk Karimata sejak dua tahun sebelumnya membuat bayangannya akan pulau yang perawan sedikit buyar, hasratnya masih bulat.

“Saya ingin belajar kepada orang-orang pulau tentang bertahan hidup,” kata Ruud beberapa saat setelah pesawatnya mendarat di Bandara Subandio.

 “Mereka orang-orang lokal,” kata Blijung. “Bukan penumpang kapal yang dibuang lanun. Jadi, kalau itu yang akan kamu lakukan, tentu kamu salah tempat.”

Ruud tertawa. “Saya membawa alat selam karena ingin tandem sama penyelam Karimata,” katanya ketika mata Blijung sedari tadi tak lepas dari tas besar yang ia tenteng di tangan kanannya. “Jangan tanya aku tahu dari mana,” sambungnya cepat ketika sarjana muda itu tampak ingin mengatakan sesuatu.

Blijung tak mau berdebat kusir.

Di Karimata, pria keturunan Belanda-Jerman itu akan tinggal di rumah Blijung. “Mak pasti senang kalau aku ke sini,” kata Blijung di dalam tosa, sepeda motor pikap roda tiga, yang membawa mereka ke kediaman ibu Blijung di Dusun Tanjung Ru. “Terakhir aku pulang dua tahun lalu ketika membawa pihak swasta yang memasang listrik di Karimata. Itu juga menjadi momentum emosional bagi aku dan ibuku, perempuan setia yang sampai hari ini menjanda sejak Ayah meninggal ketika aku masih SMP.”

Ruud memuji terobosan Blijung, tapi tak terlalu menanggapi cerita tentang ibunya. “Aku harap bisa melakukan banyak hal berguna di sini, Jung,” kata Ruud bersemangat. “Aku tidak akan pulang sebelum berbuat banyak.”

Blijung tentu saja senang mendengar itu. Dalam sejumlah percakapan dengan masyarakat dusun di berbagai tempat, sengaja ataupun tidak, ia mengutarakan hal itu. Ia berharap Ruud diterima, sehingga ia benar-benar bisa melakukan banyak hal.

“Apa? Pakai kompresor?” kata Ruud tak percaya ketika nelayan pencari tripang menceritakan pengalaman mereka menyelam menggunakan alat yang tidak sesuai dengan standar keselamatan.

Ruud, yang mengantongi lisensi menyelam profesional, merasa terganggu sekaligus tertantang. Ia bertekad akan berbagi pengetahuan ataupun praktik menyelam dengan peralatan menyelam yang sesuai dengan standar. “Gratis!” katanya tanpa ditanya. “Anggap saja peralatan menyelam yang kubawa ini sebagai sampel. Mereka silakan coba. Pasti cocok dan nyaman,” Ruud makin antusias. “Sekarang juga akan kupesan 20 set peralatan untuk Karimata! Anggap saja hadiah.”

Bagi Blijung, Ruud sudah berlebihan. Ia memang sudah tahu Ruud akan membawa peralatan menyelam. Tapi ia kira karena laki-laki berambut gimbal itu ingin menjajal keindahan bawah Laut Karimata yang berstatus sebagai cagar alam bawah laut.

***

Di hari kelimanya di Karimata, Ruud sudah berbaur dengan penduduk setempat. Pertama, karena ia sering nongkrong di pelabuhan. Kedua, karena penampilan fisiknya yang nyentrik menarik perhatian. Atas dua alasan itu, kabar dan pesonanya dengan mudah tersiar ke kurang dari 200 jiwa penduduk pulau itu.

Tepat pada hari ke-7, Ruud menawarkan diri untuk menjadi instruktur. “Bapak-bapak dan teman-teman,” katanya dengan aksen Belanda yang membuat orang-orang yang ia ajak bicara senyam-senyum sendiri. “Saya tak bermaksud mengajari, tapi hanya berbagi,” katanya seraya melirik Blijung.

Malam tadi, pemuda itu memberitahunya tentang bagaimana cara berkomunikasi yang disukai penduduk lokal. “Jangan mengajari,” katanya. “Mereka akan mengikuti apa saja instruksimu kalau hatinya sudah kaudapatkan.”

Nyatalah sudah. Baru dua pekan mengajar, Ruud lebur dengan Karimata. Kulitnya mencokelat, meski matanya tetap biru toska. Orang-orang menyukainya. Karena, selain sopan, ia suka merendah. Bahkan orang-orang tua yang memiliki banyak pengalaman, cerita rakyat, dan petuah-petuah pun sering membaginya cerita. Bagi Ruud, semua itu adalah kekayaan budaya yang kerap tak dianggap oleh penduduknya sendiri.

Tentu saja, agar komunikasi itu berlangsung dua arah, mulanya Blijung harus siap-sedia sebagai penerjemah. Tapi Ruud, sebagaimana moyangnya, polimadisme itu menular dan menurun. Hanya butuh sebulan, Blijung bisa melepaskannya ke penduduk.

“Bagaimana saya membalas orang-orang Karimata yang telah menerima saya dan memberikan saya banyak cerita sehingga akhirnya saya merasa melakukan kecurangan sebab terlalu banyak mengambil dari kalian.”

Blijung sudah melarang Ruud melanjutkan niatnya melanjutkan pelatihan menyelam untuk tetua adat karena, walaupun mereka adalah penyelam andal pada masanya, mereka tak lagi berkepentingan dengan aktivitas itu. “Mereka lebih banyak di rumah, Ruud,” kata Blijung. “Lagi pula, kamu sudah mengajarkan para pemuda, sehingga mereka bisa menyelam dengan ilmu dan teknik yang benar.”

Ruud bergeming.

“Apalagi kalau 20 set alat menyelam untuk pulau ini benar-benar tiba besok,” kata Blijung. “Sungguh lebih dari cukup, Ruud.”

“Tapi mereka semangat sekali,” dalih Ruud. “Aku juga akan menggabungkan mereka dengan kelas para pemuda. Jadi, akan ada yang menjaga mereka kalau kenapa-napa.”

“Kamu berani bertanggung jawab?” tantang Blijung.

“Mereka akan menggunakan peralatan selam baru itu, Jung,” kata Ruud yakin. “Kita baru akan mulai lusa.”

“Terserah,” Blijung sewot. “Kalau ada apa-apa, kau tanggung akibatnya.”

“Aku menyelam 12 tahun dan tiga tahun ini aku beroleh gelar penyelam profesional. Jadi, kuharap kau bisa proporsional memperlakukanku.”

Blijung diam.

Dia berharap segalanya memang akan baik-baik saja.

***

Blijung memang sempat merasa bersalah karena sudah menyangsikan Ruud, tapi ia konsisten dengan sikapnya tidak mendukung Ruud mengajak empat orang manula Karimata ke tengah laut dengan menarik diri dari pelatihan itu. “Anak-anak muda yang belajar nyelam itu sudah lebih dari cukup untuk mengawal para manula, Ruud,” Blijung beralasan.

Seratus meter dari laut berwarna hijau toska yang menyerupai lingkaran… yang artinya… perairan tidak terlalu dalam dan memiliki pemandangan yang indah, Ruud mengapungkan kapal. Rombongan yang berjumlah 15-11 remaja dan pemuda serta 4 laki-laki berusia 70-79 tahun itu diajaknya memakai baju selam profesional. “Kita akan mengapungkan diri tak jauh dari speedboat ini,” ia memberi instruksi.

Ternyata, para manula itu—Biak, Mula, Lunuk, dan Hamid—tidak tampak sebagai manula. Mereka cekatan memasang baju selam dan peralatan oksigen. Ruud tersenyum sendiri. “Sayang sekali kamu tak ikut, Blijung. Mereka kuat-kuat dan tampak seperti anak muda semua,” serunya dalam hati.

Lima belas menit kemudian, Ruud menyelam bersama mereka dalam jarak terpisah. “Agar kita tak tergantung satu sama lain,” katanya. “Mendekatlah ke aku kalau ada yang merasa tidak sanggup lagi,” katanya kepada para manula yang tempat menyelamnya sudah ia pisahkan dari para pemuda dan remaja. “Kita akan ke permukaan bersama-sama,” teriaknya kemudian.

Para manula mengangguk.

Pada hitungan ketiga mereka menyelam.

Dibekali peralatan lengkap, Ruud yakin mereka akan menyukai petualangan bawah laut.

Satu jam.

Dua jam.

Tiga jam.

Ruud melihat sekeliling dan tidak mendapati para manula itu, padahal para pemuda dan remaja sudah muncul ke permukaan. Ruud mencari-cari mereka, tapi usahanya sia-sia. Ia menyelam ke sana-kemari dan tetap tak menemukan mereka. Karena stok oksigen menipis, Ruud segera meluncur ke permukaan. Ia harap para manula itu sudah di atas sedari tadi. Sial, batin Ruud kesal.

Di permukaan, Ruud tak menemukan apa pun. Tapi, tak sampai satu menit kemudian, para manula itu ikutan muncul.

“Bapak-bapak tadi di mana?” tanyanya setelah melepas penutup wajah dan selang oksigen.

“Saya menunggu,” kata Biak. “Tapi Tuan Ruud tak kunjung memberi aba-aba,” lanjut laki-laki 70 tahun itu.

“Sama, Tuan,” timpal Mula, laki-laki 75 tahun itu, bersemangat.

“Saya pun menunggu,” Lunuk yang seusia dengan Mula juga angkat bicara.

“Saya mohon maaf,” kata Hamid. “Saya tadi malah sempat tertidur di bawah,” tak terdengar nada pamer dari suara laki-laki 79 tahun itu.

Apa? Tidur di dasar laut?

“Iya, Tuan,” seru Biak. “Kakek Kesekian memang suka tidur ketika menyelam.”

“Kakek Kesekian?” Ia tak berniat lagi menyembunyikan keterkejutannya.

Belum usai keanehan yang menggulungnya, pemuda itu terenyak ketika menyadari tak satu pun kakek-kakek itu menggunakan oksigen ketika menyelam tadi.

“Kami tidak nyaman,” kata Hamid, polos. “Memberatkan badan saja. Kami jadi tidak leluasa bergerak.”

Ruud terdiam. Di kejauhan, rombongan pemuda dan remaja tampaknya baru saja menyelesaikan latihannya. Apakah mereka mengetahui kegilaan keempat tetua ini?

Ia berbalik ke bentangan laut yang lain. Ujung Laut Karimata melengkung hingga bersatu dengan langit yang biru. Blijung benar, batinnya. Tak seharusnya aku mengajar para manula ini. Ia teringat surat Kakek Kesekian. Tak semua ramalan harus diyakini.

Benny Arnas

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *