Kairos dan Putus Asanya Kekuasaan
oleh Benny Arnas
Jawa Pos, 22 Juni 2024
Kalau ingin melihat cinta, obsesi, dan kerapuhan runtuh layaknya akhir hayat Tembok Berlin, buku ini untukmu.”
Erl, Mayflower Book
Kali pertama melihat Kairos di Rak Aanbeveling alias Rekomendasi di Mayflower Book Shop di Leiden, saya langsung membawanya ke rumah setelah membayar 20 Euro.
Pertama, saya suka judulnya. Kedua, sangat jarang toko buku di Leiden yang menjual buku berbahasa Inggris. Kebetulan yang ada di tangan saya bukan edisi bahasa asli (Jerman) terbitan Penguin Verlag (2021), melainkan edisi bahasa Inggris oleh Granta Books (2023).
“Saya suka. Saya beli beberapa. Kamu mengambil stok terakhir,” kata Erl, laki-laki 50 tahun yang mengaku hanya datang seminggu sekali ke toko buku miliknya itu. “Kalau ingin melihat cinta, obsesi, dan kerapuhan runtuh layaknya akhir hayat Tembok Berlin, buku ini untukmu,” katanya sebelum meninggalkan toko itu.
Sebagaimana alasan pertama, saya mengira karya Jenny Erpenbeck ini berlatar Kairo atau, paling tidak, tentang laki-laki bernama demikian. Ternyata saya kecele. Ini adalah tentang perselingkuhan berlatar Jerman 1980-an.
Hans vs Kepolosan
Dikisahkan, menjelang berakhirnya Republik Demokratik Jerman, Hans bernostalgia dengan masa kecilnya yang ditandai dengan ketidaktahuannya akan sejarah. Hal ini tercermin dalam perlakuannya terhadap Katharina, yang berawal dari ketertarikannya pada kepolosan remaja itu:
“Kesenangannya tidak akan sebesar itu jika wajah Katharina tidak terlihat begitu polos,” tulis Erpenbeck.
Pembaca kemudian, pelan-pelan, diajak memahami pria paruh baya itu: Tumbuh besar selama Perang Dunia II, ketika orang tuanya pindah dari Riga di Latvia ke Gotenhafen (sekarang Gdynia) di Polandia, Hans yang masih kanak-kanak, tak menyadari bahwa mereka (baca: ia dan keluarga) telah mendapatkan hadiah rumah dari Yahudi, bangsa yang menjadi korban dalam peristiwa Holocaust, pembantaian Yahudi yang ditengarai oleh Hitler.
Rasa bersalah pun tumbuh. Perasaan itu menggunung dan bercampur iri ketika ia bertemu dengan gadis 19 tahun bernama Katharina. Ia sulit menerima bahwa gadis itu hidup bahagia dalam kepolosan.
Untuk menggambarkan ini, dengan ciamik Erpenbeck menulis:
Dia tidak dapat mengingat saat dalam hidupnya ketika dia tidak mengetahui bahwa di Jerman, kematian bukanlah akhir dari segalanya melainkan permulaan. Dia tahu bahwa hanya lapisan tanah yang sangat tipis yang tersebar di atas tulang-tulang, abu para korban yang dibakar, bahwa tidak ada jalan lain bagi orang Jerman selain di atas tengkorak, mata, mulut, dan kerangka, yang setiap langkahnya bergerak. Dan kedalaman ini adalah ukuran dari setiap jalan, baik seseorang mau atau tidak.
Kompleksitas dalam Metofora
Dengan gayanya yang metaforik (bahkan cenderung puitik), kita bisa merasakan bagaimana kompleksitas Hans yang harus menanggung beban masa lalu, baik sebagai Jerman yang terpecah-belah atau Nazi yang menyebabkan Holocaust. Dengan perasaan cintanya kepada gadis kecil yang belum bisa menjangkau bagaimana tidak sederhananya menjadi orang dewasa yang menanggung dosa bangsanya yang rasis di masa lalu, Hans diperangkap oleh egonya.
Ya, hubungan Hans-Katharina yang semula canggung, memang sempat melempar mereka ke dalam skena-skena romantik, namun itu tidak lama. Setelahnya, hanya kekerasan dan kekejaman yang tersisa. Hans menguasai Katharina sebagaimana kemarahan erat memeluknya.
Lalu, kisah itu membawa saya pada beberapa cerita lainnya.
Dalam Of Mice and Men karya John Steinbcek yang berhasil menggambarkan hubungan ganjil antara dua buruh-pengembara yang harus mengakhiri hubungan mereka dengan cara yang, bagi siapa pun yang “jatuh cinta” pada persaudaraan George dan Lenny, begitu menawan dalam perspektif kemanusiaan
Atau dalam Nyai Paina besutan H. Kommer yang membuat pembaca tahu bahwa kuasa seorang pejabat Hindia Belanda tak serta-merta membuat seseorang terlempar ke panggung kemenangan. Sebaliknya, dalam karya sastra Melayu Rendah terbitan circa, 1920-an itu, gadis pribumi itu akhirnya memegang kuasa atas tuannya.
Hans adalah George atau Tuan Belanda, sementara Katharina adalah Lenny atau Paina.
Nyala Erpenbeck
Ya, Hans adalah nyala prahara yang berusaha membombardir Katharina, si Tembok Berlin yang masih kokoh berdiri.
Makin keras Hans menjadikan Katharina pelampiasan, makin bergeming tembok tak bersalah itu menunjukkan kekuatannya.
Sebagaimana kritikus John Powers memujinya dalam Fresh Air (Juni, 2023), “Bahkan saat Erpenbeck menceritakan kisah cinta Katharina dan Hans dengan semua detailnya yang menyakitkan, hubungan cinta mereka menjadi semacam metafora untuk Jerman Timur, yang dimulai dengan harapan akan masa depan cerah dan berakhir dengan kepicikan, tuduhan, hukuman, dan kegagalan”, cinta bagi Erpenbeck tidak akan purna tunggal tampil sebagai cinta semata.
Bagaimanapun, Erpenbeck bukanlah nama baru. Setelah menjajal musik dan opera sebagai sutradara, ia menemukan rumah yang menyenangkan untuk imajinasinya: novel tentang seorang anak yang kehilangan ingatannya dalam The Old Child dan The Book of Words tahun 2008. Satu dekade kemudian, Erpenbeck masuk daftar panjang nominasi Penghargaan Booker Internasional 2018 untuk novelnya Go, Went, Gone. Kemenangan Erpenbeck dalam penghargaan yang sama tahun ini bukan hanya buah produktivitasnya.
Kemenangan Kairos adalah kemenangan kepolosan yang, oleh kekuasan oligarki, kerap dianggap hanya padang rumput yang diinjak dalam sebuah pesta taman yang riuh oleh tawa.(*)
1 Comment
Keren banget tulisannya