Ethile! Leiden!

 Ethile! Leiden!

Foto: di studio di Leiden menulis laporan perjalanan hari pertama

Oleh Benny Arnas

Setelah memberikan penjelasan hampir dua puluh menit kepada petugas imigrasi tentang apa yang akan saya lakukan di Leiden dua bulan ke depan dan ia sepertinya masih belum puas kenapa saya menunjukkan tiket pulang lewat Lisbon (bukan Amsterdam), akhirnya paspor saya distempel. Saya baru saya mengaktifkan Lyca, layanan seluler yang akan saya gunakan selama di Belanda ketika layar ponsel saya menyala. Nomor +41 sekian-sekian mengingatkan saya kepada Jonas, rekan saya di Luzern yang selalu bersemangat bicara puisi.

Saya mengucapkan halo dengan bersemangat. Percakapan kami selalu hangat. Biasanya saya akan memintanya bercerita tentang Zurich –tempat tinggalnya yang baru–yang kaku dan ia kerap menanyakan rencana saya kembali ke Eropa. Kami memang akan membuat janji bertemu tengah Mei nanti ketika saya akan memberi kelas di Prancis. Kami juga akan melanjutkan percakapan kami tentang puisi yang sedang seru-serunya tahun lalu namun harus kami hentikan karena saya dan istri harus melanjutkan perjalanan. Saya pikir, pemuda Jerman itu ingin mengucapkan selamat datang karena saya baru saja mengunggah foto etalase Albert Heijn—jaringan supermarket terbesar di Belanda–di Bandara Schipol.

Tapi, saya keliru.

Dia tidak menjawab halo saya. Lebih tepatnya, dia bukan Jonas.

***

Dia-yang-bukan-Jonas itu tertawa dan menganggap antusiasme dalam halo saya sebagai bentuk kegembiraan menyambut pertemuan kami. Saya tahu, dia ada di mana-mana. Termasuk ketika tujuh bulan lalu ia mengirimkan saya tautan untuk melamar residensi di Balkan. “Aku akan berada di Moldova dalam sebuah konferensi,” katanya di ujung tautan. “Tapi, kamu pilih saja jadwal sehingga kita tidak bertemu,” lanjutnya. Saya tahu dia sedang tertawa tanpa suara ketika mengetik kalimat penutup itu.

Tololnya, saya melamar juga.

Mulanya aku berpikir, setelah kemunculannya secara tiba-tiba di Naran, Pakistan Utara, lima tahun lalu, urusan kami “sudah beres”. Dia membuka kafe di Zurich dan kami hanya berhubungan via WhatsApp satu atau dua kali setahun.

Dan dia belum berubah.

Tentu sekarang usianya tak lagi 22. “Dua puluh tujuh seharusnya membuat seseorang lebih dewasa,” celetukku ketika ia secara implisit memberi tahu bahwa di balik kursi bisnis dalam penerbangan Istanbul-Amsterdam yang baru saja nikmati dengan tenang (karena tiga jam penerbangan bebas goncangan), terdapat perannya.  

“Ya, ia pernah melakukannya ketika saya terbang ke Bangkok dari Islamabad, Oktober 2019. Saya tidak protes dan tidak pula berterima kasih. Buat apa, tah tidak akan mengubah apa pun. Tapi, kali ini urusannya beda. Dan … ia belum berubah. Ia belum dewasa. Ia masih bisa membaca pikiran saya.

“Tenang,” katanya.

Saya yakin dia sedang cengengesan di seberang.

Upgrade tiket itu sedikit pun tidak mengurangi honorarium residensimu.”

“Jangan bilang kalau kamu sudah menungguku di Leiden,” ancamku.

Dia tertawa. ”Aku tidak mau menjawab,” katanya meyakinkan. “Tapi kupikir kamu terlalu percaya diri. Yakin kamu tidak kangen?”

“Ethile,” saya memberi penekanan, “saya akan bekerja di Belanda nanti. Saya pikir kamu sudah memegang jadwal saya. Laporan pekanan, luarannya, termasuk agenda riset yang sudah disusun oleh Judy Stilendijks. Kamu kenal PIC riset saya itu, pastinya, ‘kan?” Uh, saya benar-benar kesal sekarang. “Jadi, saya harap kamu bisa memilih waktu yang lain untuk bermanuver.”

“Ketika kamu di Balkan nanti, maksudmu?”

“Kita buat sama-sama enak saja, Eth,” saya mencoba berdamai. “Biarkan saya menyelesaikan urusan saya. Paling tidak satu bulan saya di Leiden, jangan diganggu dulu. Saya janji akan menghubungimu setelahnya. Kamu tahu kalau ini adalah residensi terpanjangku, ‘kan?”

Dia tertawa lagi. “Informasi ini mungkin berarti buatmu,” lagaknya, aku hafal sekali, seperti sedang menyiapkan kejutan. “Patrick Swang dan Jessica Ang tidak akan beredar di Montenegro pada Mei-Juni.”

“Kamu jangan bercanda, Eth.”

“Swang di Munich dan Ang di Alfama.”

Anj*ng!–maki saya dalam hati. Jerman-Portugal. Ujung ke ujung itu. Padahal saya sudah membayar penginapan di salah satu negara Balkan itu untuk salah satu acara di awal Juni. Saya masih berharap kalau dia hanya menggertak—meski … kenyataan selama ini membuktikan kalau Ethila tak pernah lepas dari kejutan!

Suaranya melunak ketika menyebut nama saya. “Apa pengertian ‘dewasa’ menurutmu?” Oh, setelah berputar ke sana-kemari, ia kembali di momentum yang tepat. Momentum di mana saya mulai meragukan pernyataan sendiri. “Kalau dewasa artinya aku tak boleh ‘bermain-main’ lagi, aku lebih memilih tidak pernah tumbuh. Kamu tentu khatam bagaimana Picasso melihat ini, bukan?”

Saya mengangguk meski saya tahu dia tak bisa melihat saya. “Setiap manusia itu suka bermain-main. Bertambahnya usia membuat kita mengeliminasinya, seakan-akan menjadi anak-anak itu memalukan.”

“Kamu memodifikasinya dengan ciamik!”

“Sebagaimana yang kamu inginkan, Eth,” balas saya. “Bermain-main membuat kita bahagia. Karena itu pula anak-anak selalu bergembira,” saya mengembalikannya ke versi Picasso. “Jadi, kamu percaya bahwa hilangnya jiwa anak-anaklah yang membuat kita kesulitan bahagia?”

Ethile menghela napas. “Tak ada benar-salah. Termasuk tebakanmu barusan. Kamu tahu aku sekarang sudah sangat Swiss kalau kamu ajak berbincang tentang hal-hal serius.”

“Swiss tak suka bercanda, Eth.” Saya tak ingin terlalu memercayainya.

“Tapi mereka sangat bahagia.”

“Karena apa? Kebersihan dan jam datang kereta yang tak pernah telat?”

“Karena biofilia,” cetusnya.

Giliran saya yang tertawa. “Kami orang tropis lebih pas menggunakan istilah itu, Eth.”

“Oh ya?”

“Kami lebih terhubung dengan alam daripada Eropa.”

“Swiss adalah Swiss. Swiss bukan Eropa!”

Tiba-tiba saya teringat antrean di Imigrasi Belanda yang memberi jalur khusus kepada pemilik paspor Uni Eropa dan Swiss.

“Kamu sepertinya harus ke Alpen, Benn.”

“Kiat pernah sama-sama ada di Babuzar Top!” Saya pikir dataran tinggi Pakistan Utara itu sudah mewakili.

“Di sana kau baru sampai euforia, belum biofilia.”

“Eth, saya belum siap diskusi berat. Saya mau cari kereta ke Leiden dulu.”

“Yup!” jawabnya cepat. “Simpan ini buat bahan percakapan kita ketika nge-latte nanti.”

***

“Jadi, apa dewasa itu?” desaknya lagi ketika begitu kereta saya tiba di Leiden Centraal dua puluh menit kemudian.

“Kita janji akan berbicara lagi ketika bertemu, bukan?”

“O, bukan begitu!” dalihnya cepat. “Itu soal biofilia. Ini soal lain. O ya, kamu sudah mau langsung ke Witte Singel?”

Lihat, dia bahkan tahu di mana tepatnya saya akan tinggal.

“Saya sedang makan croissant di stasiun. Di luar 8 derajat. Sebentar lagi saya keluar.”

“Kenapa ketika kau tahu bahwa aku berada di balik tiket bisnis Istanbul-Amsterdammu, kau menganggapku belum dewasa?”

“Pertanyaannya aku ganti saja, Eth,” kataku, sungguh aku malas berdebat. “Kamu ternyata belum berubah. Nah itu saja. Bagaimana?” saya menyelesaikan gigitan terakhir croissant saya.

Sambungan terputus.

Mungkin baterai ponselnya habis. Mungkin sebab lain? Ah, masa bodoh.  Saya melilitkan syal ke leher dua kali lalu keluar mencari bus Leiderdorp via Witte Singel di Peron B.

Beberapa menit di dalam bus, Ethile mengirim pesan. “Turun saja di Paterstraat. Lebih dekat.”

Saya nyalakan mode pesawat. Setelah total 26 jam penerbangan plus transit Lubuklinggau-Amsterdam, yang saya pikirkan saat ini adalah mandi air hangat, kopi, dan membaca buku di kasur yang hangat.***

Witte Singel, 17-18 April 2024

Benny Arnas

https://bennyarnas.com

Penulis & Pegiat Literasi

2 Comments

  • Setelah membaca artikel ini, hilang sudah keinginan saya menjadi cerpenis dan pencerita. Anda telah mengambil semuanya! Selamat, Benn!

    • MasyaAllah, semoga berkenan mengikuti cacatan ini, Kiai

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *