Benny Arnas | Media Indonesia, 27 Maret 2022 “SUDAH kubilang berkali-kali, Sumi,” kata Sadun kepada adik perempuannya yang tersedu sedan di kaki pintu rumah kayunya. “Tak de faedah mengirim anak kite ke luar,” suaranya meninggi. “Batas SMP jak sekoleh. Kalau tak tertahankan hasratnye, SMA jak di Ketapang atau Sukadane. Eh, ini malah kaukuliahkan Blijung ke […]Read More
Neknang menunjukkan surat-surat si tentara Pakistan. Mereka berkorespondensi dalam bahasa Arab. Tarikh terakhir surat itu adalah 2010, sebelas tahun yang lalu. ”Pokoknya sebelum Idul Adha Juli nanti Ayah pasti ngajak Neknang jalan-jalan!” Pandanganku tak beralih dari laporan residensi menulisku di Pakistan di layar laptop. ”Potong telinga Ayah kalau enggak jadi lagii!” suaraku meninggi ketika perempuan […]Read More
Oleh Benny Arnas (Jawa Pos, 17 Maret 2013) Baru saja usai memperkenalkan diri di kelas lima, erang kesakitan dari bangku belakang membuat kelas gaduh. Beberapa murid perempuan meminta Bunga Raya mengabaikan Nalin—begitu mereka memanggil murid yang kesakitan di belakang itu—yang memang suka membuat gaduh. Gadis 24 tahun itu bergegas mendekati Nalin dan menatap wajah Nalin dengan […]Read More
Suara Merdeka, 8 Agustus 2010 PESAWAT itu tinggal landas. Menyusur langit yang membentang biru keputihan. Ah, adakah yang peduli dengan apa yang mengeriap dalam diriku? Memang, hidup ini bukan tentang peduli-memeduli. Bukan juga tentang rasa yang makin dibunuh makin menyuluh. Aku tak akan menyeret Yusuf dalam khidmatnya perasaan ini karena laki-laki itu memang tak tampan. […]Read More
Benny Arnas & Rama Dira | Jawa Pos, 1 Agustus 2010 Meski malam telah sempurna, perempuan itu masih saja termenung di mulut pintu. Ia tak bisa tidur. Kebimbangannya menggunung. Adik-adiknya telah sedari tadi dibekap mimpi. Pikirannya berlari-lari, berputar-putar, sampai akhirnya bermuara pada seorang lelaki yang sehabis magrib tadi turun melaut bersama beberapa kawan. Apakah ia […]Read More
Benny Arnas | Jawa Pos, 30 Mei 2010 JELANG dini hari. Di sebuah ranjang berkelambu coklat muda. Kau terlelap tanpa dengkur. Telanjang dada. Bersarung sebatas lutut. Di sampingmu, terbaring sebatang tubuh molek yang hanya dibalut kain lasem sebatas dada, hingga terintip ceruk di antara dua bukit tinju yang ditutupinya. Selingkaran lehernya menyerak tanda merah sebesar […]Read More