Batubujang
Oleh Benny Arnas
Termaktub dalam antologi karya penulis terpilih (Emerging Writers) Ubud Writers & Reders Festival (UWRF) 2010 dengan judul “River Stones” terjemahan terjemahan Toni Polard.
Alamakjang, seperti tak berotak saja apa yang berlaku di muka Anas! Ia benar-benar tak habis pikir, bagaimana penduduk menjadi sebegitu bodohnya. Mereka menyemen parit dengan batamerah, bahkan sebagian lebih gawat lagi, melakukannya dengan batako.
APA KIRANYA YANG telah membuat pikiran mereka tidak menimbang banyak dampak yang mungkin sekali timbul dari tindakan yang tak kuat alibinya itu. Takkah mereka tahu kalau batamerah lebih banyak menguras rupiah daripada batubujang? Takkah jua mereka berpikir bahwa semakin berbilang masa, batamerah lebih mudah digerus air, walaupun orang-orang itu telah bertahan dengan rupa-rupa alasan yang terkesan terlalu dibuat-buat (batamerah akan dilapisi semen, salah satunya)? Tetap, batubujang lebih baik dibandingkan batamerah itu. Batin Anas memuncak, meredam lenguh durja.
Bila mencari dan menjual batubujang bukanlah satu-satunya pekerjaan yang dapat mengepulkan asap dapur dua beranak di sebuah gubuk di lereng Bukit Sulap itu, Anas takkan kesal dan memendam amarah seperti ini.
Anas juga tak habis pikir, bagaimana penduduk bisa lebih mendengarkan ajakan pemerintah kota. Orang-orang berseragam cokelat muda itu selalu berseru panjang lebar perihal penggunaan batamerah untuk menyemen parit dan membuat jalan-jalan kecil (mereka menyebutnya “trotoar”) di pinggir jalan raya yang baru mulai dibangun beberapa minggu yang lalu. Mengapa pula penduduk patuh pada orang-orang LSM yang katanya cinta lingkungan tapi tak sedikitpun peduli pada kehidupan orang lain. Para ‘pecinta alam’ itu selalu berkoar-mengajak orang-orang kampung agar tidak menggunakan batubujang bila hendak menyemen parit, memperkuat dinding-dinding beton rumah tua, atau bentuk pekerjaan lain, yang memungkinkan batubujang dipilih sebagai bahan bakunya.
O, bukan! Lebih tepatnya, mereka melakukan itu untuk membuat Pak Mur dan Anas mati secara perlahan. Tak bisa berteriak karena tiada lagi napas, separuh sekalipun; tak lagi mampu mengabar-ngabar akan keadaan badan karena tenaga pun tak cukup sudah; tak lagi mampu menggunungkan batubujang di pekarangan yang tak luas itu …. Akhirnya Anas dan Pak Mur mati diam-diam. Dikubur diam-diam pula di Pemakaman Umum Lubuk Senalang.
Ah, sejatinya Anas tak terlalu penting diharapkan mati oleh orang-orang kota dan penduduk-penduduk—yang sudah terpengaruh oleh mereka, karena sebenarnya Pak Mur lebih mereka harapkan menguzur hidupnya. Tamat segera. Lelaki itu seolah telah menikung mereka untuk jadi seperti orang-orang kota tersebut: orang-orang—yang tampaknya—tak kurang uang dan terhormat di tengah masyarakat.
Blender lebih dianjurkan daripada jelapang, dan lesung lebih disarankan terbuat dari kayu. Itu yang Anas rekam dalam benaknya setelah beberapa kali kedatangannya di kedai Mang Sarin, Nek Ijah, dan Wak Komar. Untung saja mereka tak menyarankan mengganti batubujang dengan batamerah, koral, atau bahkan semen saja untuk memfondasi rumah mereka, batin Anas.
Tapi ada kabar yang lebih anyar, yaitu orang-orang Ulaksurung dan Lorongkandis menjuluki Pak Mur sebagai batubujang itu sendiri. Rasa teriris ulu hati Anas mendengar semua ’omong-kotor’ orang-orang di kedai, ibu-ibu yang mengerumuni gerobak sayur, atau brandalan di posko-posko—yang katanya tempat pemuda berucap santun, berkumpul untuk memikirkan hal-hal yang berguna—yang tak jelas ujung faedahnya itu.
“Tak beranak pula Batu itu, Mir?”
“Macam mana dengan Anas tu, Jali?”
“Ehem,” Mang Jali membuat batuk kecil, memberi isyarat bahwa Anas baru saja menyambangi warung; menukar beberapa lembar ribuan dengan kopi dusun buatan Nek Ijah, si pemilik kedai. “Yang jelas lelaki tua di lereng bukit itu tak ubahnya seperti batu yang tiba-tiba sudah ada. Malangnya ia terus membujang. Tak ada yang mau berkawin dengannya.” Mang Jali sengaja mengeraskan suara.
Anas mendengus, melirik tajam.
“Hei Jali, tak senang tampaknya anak Batu tu!” Mang Amir mengangkat sebelah kakinya ke atas dudukan bambu.
“Hei, Anas! Tak senang kau, hah?!” Mang Jali menantang. Tampaknya Mang Amir sukses memanas-manasinya.
“Yakin kau anaknya Si Mur, heh?” Mang Jali terkekeh. Diikuti Mang Amir seraya menyeruput gelas kopi keduanya. ”Kalau tak percaya sama kami, kau tanyalah pada Wak Mukhlisin yang sering cari kayu ke Bukit Sulap tu!“
Anas melirik sekilas. Ia tahu, tukang kayu itu orang yang baik. Tak mungkin ia bersekutu dengan Mang Jali dan kawan-kawannya. Benar saja, tak berselang lama, Wak Mukhlisin meninggalkan kedai.
”Kau berkabarlah pada Si Batu Lapuk: Bapak kau tu! Kami tak nak longsor di Bukit Botak tu terjadi pula di Ulaksurung ni!” Belum puas rupanya Mang Jali.
Anas bergegas mengambil uang kembalian dari tangan keriput Nek Ijah yang mengulum seringaian.
“Hoi!” Mang Jali berteriak. “Batubujang Bapak kau tu!” Dan, pecahlah tawa di kedai itu.
Anas bergeming. Dengan kaki telanjang, ia papas gapura kampung. Melindas kerikil-kerikil yang menyamak debu. Gemuruh tawa dan ejekan dari kedai Nek Ijah makin singup seiring lebar derap langkah Anas, memapas bumi yang berderik. Panas, panas, panas!
DI BALIK ALASAN akan ketakutan pada longsor, banjir, dan kemarahan alam lainnya, Anas dan Pak Mur bersisekap dengan pedih. Merana seperti kupu-kupu yang hidup di taman yang bebungaannya hanya menguncup, tak kunjung mekar. Batubujang-batubujang yang menggunung di depan dan belakang rumah hanya membisu, seperti Pak Mur yang saban pagi dan petang terus memandanginya tanpa suara. Sungguh, hampir tiada yang bisa mereka andalkan lagi untuk menyambung napas.
Anas pun tak dapat berbuat banyak, kecuali menghibur bapaknya bahwa uang dan beras simpanan mereka masih cukup untuk mengula-gulai perut hingga beberapa hari ke depan. Dan beberapa waktu belakangan ini, kondisi kejiwaan dan kesehatan Pak Mur makin memprihatinkan. Saban bakda Magrib, Pak Mur sering berbicara sendiri di hadapan batubujang yang menggunung di sudut-sudut pekarangan. Kadang Pak Mur hanya mencangkung di salah satu gundukan. Kadang mengelus-elus batu-batu bisu itu. Kadang juga menciuminya dengan mata terpejam. Yang tak kadang-kadang adalah, Pak Mur mengempaskan batubujang yang satu ke gundukan batubujang lainnya.
Ketika malam mulai menyeruak, badan Pak Mur juga sering menggigil kedinginan. Biasanya Anas mengeluarkan semua selimut dan kain sarung dari lemari untuk menghangatkan tubuh lelaki tua yang sudah mulai ringkih itu. Pak Mur baru akan berhenti mengigil ketika pekatnya kelam memaksa mata tuanya menutup untuk sementara, sampai bedug menggema di seantero Ulaksurung.
“Pak, apa benar yang Mang Jali katakan?”
“Dengan siapa dia mengumpat orang, Nas?”
“Mang Amir, Bi Nur, Wak Soleh, Cik Rika …”
“Memangnya dari kedai mana lagi kau, Nas?!” Muka Pak Mur memerah.
“Entah, ini yang keberapakali aku mendengar omong-kotor orang-orang itu tentang kita, Pak.” Anas menggamit kedua bibirnya ke dalam hingga membentuk garis. “Mmm …,” Anas menata kata, “apa kita menyakiti mereka tanpa kita merasa melakukannya, Pak?”
PRAAAK!
Pak Mur menendang kursi kayu hingga terpelanting. Refleks Anas menunduk, memagari wajah dengan kedua tangannya. Hampir saja lapak-duduk itu menindihnya.
“Kau membela mereka, hah? Kau membela orang kota, LSM, Jali-Sinting, Ijah-Lampir tu, hah?!”
Anas tak menyahut. Bergegas ke belakang, menjerang air panas.
Sebentar lagi bumi akan pekat. Seperti biasa, kopi pahit seakan-akan telah menjadi teman setia Pak Mur sejak batubujang di pekarangan rumahnya tiada yang berupaya menawar, apalagi membeli. Dan sebagai anak bujang seorang, Anas selalu setia membuatkannya minuman hitam-kelat itu, sebelum menemaninya menceracau lepas pada langit buram dan angin malam yang menusuk paru-paru; di antara gundukan-gundukan batubujang yang siap beradu-dentam: pecah satu-satu diadu Pak Mur. Saat itulah, Anas mengakhiri tugasnya menemani sang bapak. Ya, siapa pula yang mau mati diremuk batubujang, walaupun bapak sendiri pula yang melakukannya?
Seperti biasa, ketika malam melarut, Pak Mur masuk ke kamar pengapnya karena sekujur tubuh menggigil kedinginan. Anas pun akan kembali menemani, menghangatkan badannya dengan sarung-sarung dari lemari kayu mereka. Begitulah terus berulang beberapa hari terakhir ini. Lagi dan lagi. Terus dan terus. Tampaknya semua takkan berhenti sampai ada yang hendak membangun rumah, membeli batubujang.
“Kau dengar juga Jali mencarut, ngomong kotor, di kedai Nek Ijah di simpang menuju jembatan Dusun Linggau tu?”
“Di Jalan Bangka, Pak,” sahut Anas dari dapur. Tangannya mengaduk-aduk kopi sambil mengamati ceret aluminium yang terpanggang di antara dua batubujang hitam yang memekang; mengapit tetungkuan yang mulai mengarang dan mengabu.
“Sama saja itu, Setan!”
Anas menghela napas, menghentikan adukan sejenak.
“Semaunya saja orang-orang LSM tu. Mereka kira mereka paling suci! Paling tahu kehidupan banyak orang! Bukit Sulap ni tak akan tergerus air hujan, tak akan cepat longsor, dan tak akan mengirim banjir untuk penduduk di sini hanya karena kita mencungkil beberapa batubujang di tepi sungai yang mengalir di kakinya, Nas,” Pak Mur mengeras-ngeraskan suara seakan-akan hendak memastikan Anas benar-benar mendengarkan semuanya dari dapur.
“Mungkin mereka takut seperti yang terjadi di Bukit Botak, Pak.” Anas kembali melanjutkan adukan. Dia belum berani beranjak ke ruang depan. Pak Mur masih menceracau. Sebentar lagi batubujang-batubujang di sekitar rumah akan jadi sasarannya.
“Bohong itu! Jangan kau jadi iblis juga, Nas?”
Anas meniup tungku. Dia harus menjerang air lagi sebagai persiapan. Sudah kebiasaan, Pak Mur akan minta tambah kopi lagi.
Gerimis mulai menabuh seng-seng berkarat. Anas telah berada di hadapan Pak Mur, menghidangkan kopi pahit.
Tabuhan seng makin ramai.
“Tak keluar, Pak?” Anas mendudukkan tubuhnya tepat di hadapan Pak Mur, di depan meja kayu yang melapuk. Biasanya malam yang masih muda seperti ini, selalu dimanfaatkan Pak Mur untuk bersantai di antara gundukan batubujangnya, menghirup empat-lima gelas kopi.
“Bodoh, kau! Hujan di luar!”
Angin menderu. Langit muntah satu-satu. Jarum-jarum air bersicepat menyeruduk tanah.
“Pak, petang tadi Anas ke kedai Nek Ijah.”
Pak Mur menatap sinis.
Hujan melebat.
“Ngomong apa mereka?”
“Kita harus segera pindah dari sini, Pak. Katanya orang-orang kota akan membangun pila. Entah apa pula itu, aku tak begitu tahu. Tapi sepertinya pila itu serupa temoat menginap …”
“Besar uap orang-orang kota itu, Nas!”
“Tapi kukira yang besar uap itu Mang Jali, Pak!”
Pak Mur mendongak. Dahinya mengernyit.
“Mang Jali sudah menandatangani semacam surat kuasa atas tanah ini, Pak.”
“Setan nian kau Jali!” Dada pak Mur megap-megap. ”Mau bersengketa dia dengan kita, Nas!” Pak Mur bangkit, menuju halaman yang mulai becek.
Suara gemuruh di luar.
“Suara apa itu, Pak?”
“Awas kau, Jali!” Pak Mur tak memedulikan kata-kata Anas. Pak Mur mulai memungut beberapa batubujang yang sedang-sedang ukurannya, lalu memasukkannya ke dalam karung lusuh. “Kuremukkan kepala Jali itu, Nas!”
Tiba-tiba Pak Mur berteriak hebat. Diikuti Anas.
“KURANG AJAR NIAN kau, Mur!!!” Jali geram. Naik turun bahunya menahan marah yang melahar. Matanya membelalak memandangi tumpukan batamerahnya dari balik gorden tua. Bi Nun menyodorkan segelas air putih pada suaminya. Berusaha menenangkan.
CRAAANK!
Jali kadung durja. Air berlompatan melumuri lantai buram yang kini berserakan beling
“Coba kalau ia tak bersikeras tinggal di sana. Tidak mencungkil batubujang saban hari, pasti tak seperti ini jadinya. Dasar batubujang! Tua-Bujang, Tua-Bangka, Tua-Mati pula kau!”
Bi Nun terpekur, duduk di tepi dipan.
“Tak jadi kaya kita, Dik! Tak jadi orang kota membuat pila di situ!”
“Kasihan Anas, Kak.” Mata Bi Nun menerawang Bukit Sulap yang terbingkai jendela. Gundukan hijau itu kini mencokelat-liat.
“Untuk apa pula kasihan dengan anak tak berbapak tu!” Mang Jali menoleh. Berkacak pinggang.
“Sudahlah, Kak.” Suara Bi Nun agak serak. Matanya hangat. ”Bukankah Kakak juga akan dapat berkah darinya. Batamerahmu akan makin dicari orang. Kita harusnya menaruh kasihan pada Anas yang tak tahu apa-apa itu ….”
“Untung tak banyak ulah anak tu! Untung juga dia mati dengan laki-laki gila itu! Tak ada yang mau berumahtangga dengan bapak-tirinya itu. Sampai tua pula tak berbini, tak beranak, tak bergaul, tak pula berpenghidupan selain dari batubujangnya itu! Pasti dia juga mati tertimpa batubujangnya. Dia itu pulalah yang sebenarnya batubujang tu! Batubujang mati ditimpa batubujang pula ….”
Bi Nun tak hirau lagi dengan kata-kata suaminya. Ia mengambil selendang hitam di atas lemari tuanya, kemudian mengusap matanya yang memerah sebelum menutup kepalanya yang bersanggul malang.
“Ke mana kau, Dik? Tak kaudengar lagi kata-kataku?”
“Di kedai Wak Komar tadi, kudengar mayat Kak Mur dan Anas baru diangkat dari timbunan longsor. Mungkin siang ini dua beranak itu akan dikubur. Sebenci-bencinya kau pada mereka, beradat sedikitlah sebagai laki-laki, Kak.”
Mang Jali beringsut mengambil kopiah hitam. Mengikuti langkah istrinya ke Lubuk Senalang.(*)